Danau Lau Kawar terletak di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat,
Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Danau ini terkenal akan airnya
yang jernih dan tenang serta pemandangan alamnya yang indah. Namun,
dibalik pesona keindahan tersebut tersimpan suatu kisah luar biasa
mengenai asal usul terjadinya danau yang oleh sebagian masyarakat di
sekitarnya diyakini kebenarannya. Kisahnya adalah sebagai berikut.
Alkisah, pada zaman dahulu kala Lau Kawar bukanlah sebuah danau
seperti sekarang ini, melainkan sebuah desa yang bernama Kawar.
Masyarakatnya hidup dari hasil bercocok tanam di ladang yang selalu
subur walau tidak memakai pupuk atau obat-obatan lainnya. Suatu waktu,
hasil panen mereka meningkat hingga dua kali lipat. Akibatnya,
lumbung-lumbung mereka pun menjadi penuh. Bahkan, beberapa diantaranya
ada yang harus menaruh hasil panennya di dalam rumah karena sudah tidak
muat lagi di lumbung.
Atas keberhasilan panen itu, mereka lalu bergotong-royong mengadakan
pesta adat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada
hari pelaksanaan, Desa Kawar tampak ramai dan semarak. Para penduduk
mengenakan pakaian yang berwarna-warni serta perhiasan yang indah. Dalam
pesta adat itu warga Desa Kawar tampak bergembira ria kecuali seorang
perempuan tua yang ditinggal seorang diri di dalam rumahnya. Ia tidak
mengikuti pesta karena menderita lumpuh dan tidak dapat berjalan lagi.
Sementara anak, menantu, dan para cucunya asyik sibuk mengikuti pesta
dan tidak mempedulikannya lagi.
Sambil terbaring di atas pembaringannya, si nenek tua itu pun
berkata, “Ya, Tuhan! Aku ingin sekali menghadiri pesta itu. Tapi apa
dayaku. Jangankan berjalan, berdiripun aku sudah tidak sanggup lagi.”
Dalam keadaan demikian, ia hanya bisa membayangkan betapa meriahnya
suasana pesta itu. Saat mendengar secara sayup-sayup suara gendang
guro-guro didendangkan, teringatlah ia ketika masih remaja dan ikut
menari berpasangan dengan para pemuda desa yang gagah dan tanpan. Namun,
semuanya hanya tinggal kenangan saja. Kini, tinggallah siksaan dan
penderitaan yang dialami di usia senjanya. Ia menderita seorang diri
dalam kesepian. Tak seorang pun yang mempedulikannya.
Ketika tiba saatnya makan siang, seluruh warga yang tengah berpesta
tersebut segera berkumpul di balai desa untuk menyatap berbagai macam
makanan yang telah disiapkan. Saat mereka makan sesekali terdengar suara
tawa karena di antara mereka ada saja yang membuat lelucon. Rasa
gembira yang berlebihan membuat mereka lupa bahwa ada seorang diantara
mereka yang tidak dapat mengikuti pesta karena keterbatasan fisiknya.
Orang itu adalah si nenek yang sudah sejak tadi merasa lapar. Ia
sangat mengharapkan anak atau menantunya ingat dan segera mengantarkan
makanan untuknya. Namun, setelah ditunggu-tunggu, tak ada seorang pun
yang datang. Akhirnya, dengan sisa-sisa tenaga yang ada, ia mencoba
merangkat ke dapur untuk mencari makanan. Tetapi setelah sampai di dapur
ia tidak menemukan sedikitpun makanan karena anak-anak perempuannya
sengaja tidak memasak pada hari itu.
Sambil merangkak kembali menuju pembaringannya si nenek meratap, “Ya
Tuhan! Anak-cucuku benar-benar telah tega membiarkan aku menderita
begini. Di sana mereka makan sampai kenyang, sedang aku dibiarkan
kelaparan. Sungguh kejam mereka!”
Di tempat lain, saat pesta makan telah usai anak si nenek rupanya
baru ingat kalau ibunya belum makan. Ia kemudian menghampiri isterinya
dan berkata, “Isteriku! Apakah kamu sudah mengantarkan makanan untuk
ibu?”
“Belum,” jawab sang isteri singkat.
“Kalau begitu, tolong bungkuskan makanan lalu suruh anak kita menghantarkannya!” perintah sang suami.
“Baiklah,” jawab sang isteri sambil berjalan ke arah makanan sisa
pesta lalu membungkus beberapa diantaranya dan memberikan pada anaknya
untuk di bawa pulang.
Sesampainya di rumah, si anak segera menyerahkan bungkusan makanan
itu pada neneknya lalu berlari kembali ke tempat pesta. Alangkah
senangnya hati sang nenek. Pada saat lapar yang teramat sangat,
tiba-tiba saja ada yang membawakan makanan. Dengan perasaan gembira ia
lalu membuka bungkusan itu. Namun betapa kecewanya ia ketika melihat
bahwa isi bungkusan hanyalah makanan sisa yang sudah tidak utuh lagi.
“Ya Tuhan! Apakah mereka sudah menganggapku seperti binatang,” gumam sang nenek dengan perasaan kesal.
Sebenarnya bungkusan itu berisi daging panggang yang masih hangat dan
utuh. Namun, di tengah perjalanan si cucu telah memakannya sehingga
yang tersisa sebagian besar hanyalah tulangnya saja.
Si nenek yang tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya mengira anak
dan menantunya telah tega melakukan hal itu. Ia merasa sangat terhina
dan segera berdoa kepada Tuhan agar anak dan menantunya diberikan
ganjaran yang setimpal.
Singkat cerita, setelah selesai mengucapkan doa secara tiba-tiba
terjadi sebuah gempa bumi yang sangat dahsyat. Selanjutnya, langit
menjadi mendung disertai guntur menggelegar dan tak lama kemudian
turunlah hujan dengan lebatnya. Dalam sekejap mata, Desa Kawar yang
subur dan makmur itu tiba-tiba tenggelam beserta seluruh penduduknya dan
berubah menjadi sebuah danau seperti sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar